Laman

Sabtu, 24 September 2011

aliran asy'ariyah


ALIRAN ASY’ARIYAH

A.    Latar Belakang berdirinya Aliran Asy’ariyah
Serangan kaum Mu’tazilah terhadap para fuqoha dan muhaddisin semakin gencar. Hampir dipastikan tak seorang pun tokoh fiqih maupun hadis yang luput dari serangan itu. Dan serangannya ini tidak hanya berbentuk pemikiran, tetapi juga penyerangan fisik yang dkenal dengan mihnah (inkuisisi). Mihnah dilakukan selama 3 periode kholifah, yakni Al Ma’mun, al Mu’tasim, dan Al Watsiq. Karena program mihnah ini menimbulkan kebencian masyarakat islam yang tak sepaham dengan aliran Mu’tazilah maka kholifah al-Mutawakil pengganti al-Watsiq menghapuskannya sekaligus menghapus Mu’tazilah sebagai mazhab negara pada tahun 848M . sebagai gantinya, kholifah al-Mutawakil mendekati lawan-lawan Mu’tazilah yang dikenal sebagai kelompok Ahlussunah wal jama’ah.
Peristiwa mihnah jelas merugikan aliran Mu’tazilah, hal ini memberikan kesempatan bagi kelompok–kelompok lain untuk berkembang [1] . Termasuk juga aliran Asy-ariyah.
Pada awalmya Al Asy’ari mempelajari aliran Mu’tazilah dan menjadi pengikutnya selama 40 tahun  namun beliau mengalami keraguan dengan pemiliran-pemikiran Mu’tazilah tersebut. Diantara sebab-sebab keraguan Al asy’ari adalah dalam suatu malam beliau bermimpi, dalam mimpi itu nabi Muhammad saw mengatakan kepadanya bahwa mazhab Ahli Hadistlah yang benar, dan mazhab Mu’tazilah salah.[2] Sebab lain adalah  jawaban perdebatan dengan Al- Jubbai yang tak  memuaskan.
Kemudian untuk mengambil keputusan terakhir , Al-asy’ary mengasingkan diri di rumahya untuk memikirkan ajaran-ajaran Mu’tazilah selama 15 hari. Setelah itu, ia keluar menemui masyarakat dan mengundang mereka untuk berkumpul. Selanjutnya ia naik ke mimbar dan mengatakan pada hadirin bahwa ia mulai saat itu atas petunjuk Allah meninggalkan keyakinan-keyakinan Mu’tazilah (yang diragakan dengan melepas bajunya dan melemparkan) dan beralih menganut keyakinan-keyakinan yang ia susun sendiri dalam karyanya yang beraliran Ahlussunnah.[3]
B.     Tokoh tokoh
1.      Al-Baqillani
Abu Bakar al-Baqillani adalah ulama besaryang menyaring berbagai kajian yang pernah dilakukan al-Asy’ari,. Ia berbicara  tentang primis-premis dalil rasional mengenai tauhid. Al-Baqillani tidak hanya memantapkan mazhab al-Asy’ari dengan konklusi-konklusinyang telah tercapai. Lebih dari itu, ia menyarankan tidak boleh mengambil selain premis yang telah dikemukakannya dalam rangka mencapai konklusi tersebut.
Pernyataan- al-Baqillani tersebut jelas merupakan sikap extrim dalam mengikuti suatu pendapat dan dalam mmberikan dukungan dan pembelaan, sebab premis rasional tidakpernah disebutkan dalam al-Qur’an maupun Sunnah, ruang geraknya luas dan pintunya terbuka lebar. Metode yang dapat ditempuh juga banyak.[4]
Ajaran-ajarannya:
1.      Tentang menentukan wujud Allah
Pernyataan al- Baqillani ini memperkuat pemikiran asy’ariyah
2.      Sifat Allah
Beliau membagi sifat Allah menjadi 2.sifat dzat dan sifat af’al.
3.      Tentang melihat Tuhan
Beliau berpendapat bahwa melihat Allah itu mungkin.
4.      Tentang keadilan Tuhan
Tengtang keadilan Allah ini adalah kemutlakan Tuhan.
5.      Tentang Ajal
Al-Baqillqni ini menetapkan bahwa orang itu meninggal sebab ajalnya yang telah maqdur (ditentukan).
6.      Tentang Al-Istitha’ah dan Al- kasbu
2.      Al-Juwaini
Ia seorang ulama yang mempunyai pengetahuan luas dalam ilmu Fiqih, Usul, Nahwu, tafsir, dan Adab.Al-Juwaini dalam ilmu kalam adalah pengikut aliran Asy’ariyah. Diantara ajaran-ajaran Al-Juwaini adalah:
a.       Tentang Jauhar dan Aradl
b.      Tentang barunya alam sebagai tanda adanya yang menciptakan.
c.       Tentang sifat tuhan, beliau membagi menjadi dua.
d.      Tentang kalamullah
e.       Tentang tahsin dan taqbih
f.       Tentang nubuwwah
g.      Tentang perbuatan manusia
h.      Tentang ayat-ayat mutasyabihat[5]
3.      Al-Ghozali
Menurut Imam al-Ghozali, seseorang itu tidak dapat menjadi kafir karena mengingkari soal furuk agama, kecuali dalam suatu hal , yaitu jika mereka mengingkari asal-asal agama yang sudah diketahui dari Nabi secara muttawatir (seperti mengingkari kewajiban salat). Pokoknya, kalau terhadap soal furuk tadi ia membangkang , maka orang tersebut dihukumkan sebagai kafir. Misalnya jika ada seseorang yang membohongkan atau tidak membenarkan bahwa salat wajib satu hari satu malam lima kali itu adalah sebagai satu cara beribadah yang wajib dilakukan oleh manusia. Pengingkaran terhadap kewajiban salat fardlu itu dapat membawa kekufuran (menjadi kafir).[6]
4.      Al-Iji
Namanya ‘Alaudin al-Iji, pengarang buku-buku ketauhidan dan filsafah. Diantara karangan-karangan yang terkenal adalah
1)      Al’Aqaidul-‘Adhudijah, dalam ilmu kalam yang banyak mendapat ulasan dari ulama-ulama yang datang sesudahnya.
2)      Al-Muwaqif, juga dalam ilmu kalam. Kitab ilmu kalam terbesar yang memuat juga beberapa filsafat.[7]
5.      As-Sanusi
Nama lengkapnya Abu Abdillah Muhammad bin Yusuf. Lahir di tilimsa, sebuah kota di Aljazair. As-Sanusi dengan bukunya Ar-Risalah as-Sanusiyah lebih memperjelas pelajaran Asy’ariyah yang berhubungan dengan sifat-sifat Tuhan dan Rosulnya dan dibagi menjadi sifat-sifat wajib, mustahil, dan jaiz,[8]
C.     Ajaran-ajaran
1.      Tentang wahyu tuhan yang disebut kalam Allah
Asy’ary membagi kalam tuhan menjadi dua bagian, yaitu
1)      Perkataan yang ada pada zat-Nya (kalam nafsy). Sifat ini adalah sifat zat dn qodim.
2)      Perkataan yang terdiri dari kata-kata dan huruf. Perkataan ini baru dan makhluk(diadakan).
Dalam bagian kedua tersebut pendirian Al-Asy’ari sama dengan pendirian aliran Mu’tazilah. Kalau dikatakan” kalam itu qodim”, maka yang dimaksud ialah perkataan macam pertama. Kalau dikatakan baru, makam yang dimaksud perkataan macam kedua.
Dalam Al-qur’an ada ayat-ayat yang menunjukkan bahwa perkataan Allah baru, seperti ayat 2 Anbiya’:
$tB NÎgŠÏ?ù'tƒ `ÏiB 9ò2ÏŒ `ÏiB NÎgÎn/§ B^yøtC žwÎ) çnqãèyJtGó$# öNèdur tbqç7yèù=tƒ ÇËÈ
Tidak datang kepada mereka suatu ayat Al Quran pun yang baru (di-turunkan) dari Tuhan mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang mereka bermain-main,
Dan ayat 87 Annisa
ª!$# Iw tm»s9Î) žwÎ) uqèd 4 öNä3¨YyèyJôfus9 4n<Î) ÏQöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# Ÿw |=÷ƒu ÏmŠÏù 3 ô`tBur ä-yô¹r& z`ÏB «!$# $ZVƒÏtn ÇÑÐÈ

  Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Sesungguhnya dia akan mengumpulkan kamu di hari kiamat, yang tidak ada keraguan terjadinya. dan siapakah orang yang lebih benar perkataan(nya) dari pada Allah ?
Keqadiman kalam nafsy tersebut ialah karena ia adalah salah satu sifat Tuhan, sedang sifat-sifat Tuhan qadim semua. Maka sifat kalam pun harus qodim.
Akan tetapi dalam kitabnya yaitu al-ibadah al-Asy’ary lebih condong kepada Ibnu Hambal, karena ia dengan jelas menyatakan bahwa perkataan Tuhan tidak makhluk, baik berupa kata-kata maupun bukan. Asy’ari berkata tidak satu pun Al-Qur’an itu makhluk. [9]
2.      Pengakuan adanya sifat-sifat Allah
Pendapat al-Asy’ari dalam soal sifat terletak di tengah-tengah antara aliran Mu’tazialah di satu pihak dan aliran Hasywiyah dan Mujassimah di lain pihak. Aliran Mu’tazilah tidak mengakui sifat-sifat wujud, qidam, baqa’dan wahdaniyah (keesaan). Sifat zat lain seperti sama’, bashar, dan lain-lain tidak lain hanya Zat Tuhan sendiri. Golongan Hasywiyah dan Mujassimah mempersamakan sifat-sifat Tuhan dengan sifat-sifat makhluk.
Al-Asy’ari dalam pada itu mengakui sifat-sifat Tuhan yang tersebut sesuai dengan Zat Tuhan sendiri, dan sama sekali tidak menyerupai sfat-sifat makhluk, Tuhan mendengar tetapi tidak seperti kita mendengar dan seterusnya.[10] Seperti tersebut dalam ayat-ayat yang berbunyi:
4s+ö7tƒur çmô_ur y7În/u rèŒ È@»n=pgø:$# ÏQ#tø.M}$#ur ÇËÐÈ
27.  Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.

¨bÎ) šúïÏ%©!$# y7tRqãè΃$t6ム$yJ¯RÎ) šcqãè΃$t7ム©!$# ßtƒ «!$# s-öqsù öNÍkÉ÷ƒr& 4 `yJsù y]s3¯R $yJ¯RÎ*sù ß]ä3Ztƒ 4n?tã ¾ÏmÅ¡øÿtR ( ô`tBur 4nû÷rr& $yJÎ/ yyg»tã çmøn=tæ ©!$# ÏmÏ?÷sã|¡sù #·ô_r& $VJÏàtã ÇÊÉÈ
10.  Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah[1396]. tangan Allah di atas tangan mereka[1397], Maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah Maka Allah akan memberinya pahala yang besar.


3.      Melihat Tuhan di akhirat
Pemikiran kalam Asy’ari tentang Ru’yah kepada Allah (melihat Tuhan di akhirat) adalah hal yang mungkin terjadi karena tuhan sendiri berfirman:
×nqã_ãr 7Í´tBöqtƒ îouŽÅÑ$¯R ÇËËÈ 4n<Î) $pkÍh5u ×otÏß$tR ÇËÌÈ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar